Minggu, April 28

Bulan dan Bintang II


"Hai, kamu wanita anggun dibalik senyuman manis. Lengkungan bibirmu menyiratkan keceriaan, pancaran hati yang penuh kasih. :)"


"Selamat malam pria penebar senyum. Terima kasih telah menularkan kehangatan dalam dinginnya malam ini. Sehingga aku merasa yakin, esok pagi mentari pun akan kembali menyuguhkan senyum terhangatnya. (:"

"Mentari pagi yang malu-malu memang terlihat indah. Mempesona. Tapi aku lebih terpikat dengan jingganya senja. Membayangkan diriku duduk dengan seorang wanita menghabiskan sore menikmati matahari tenggelam. Tak perlu banyak bicara. Cukup menghanyutkan diri di keindahannya."

"Mengapa kamu tak mengajakku saja? Mungkin aku bukan orang yang pintar menilai indahnya keagungan Tuhan, namun jika kamu hanya butuh orang yang mau menemanimu tanpa banyak berkomentar, aku adalah pilihan yang tepat untukmu. Mungkin saja."

"Ah, tahukah kamu, aku baru saja memikirkannya, Aku sedang memilih kata yang tepat untuk menawarkan hal itu. Jika memang begini, rasanya aku tak perlu repot-repot untuk menangkap kata dan menyusunnya."

"Ya Tuhan, aku baru sadar kalau sejak tadi kamu telah merangkai kata-kata dan entah mengapa aku tak merasa jijik untuk mencernanya di kepalaku."

"Apa kamu tak terlalu berlebihan? Aku bukanlah perangkai kata. Aku hanyalah orang yang mengagumi rangkaian kata indah. Itu saja."

"Kamu boleh tak menyadarinya. Akan tetapi, jika aku boleh mengandaikanmu sebagai perangkai kata, izinkanlah aku menjadi kata yang kamu rangkai! Buatlah aku terdengar indah! Itupun kalau kamu mau."

"Bila kamu telah menasbihkan dirimu sebagai kata. Aku tak mau menjadi imbuhan, karena aku tak ingin mengubah artimu. Tetaplah menjadi kata dasar! Tanpa awalan. Tanpa akhiran."

"Mulai detik ini kamu telah menyiksaku. Segera jemputlah aku! Aku sudah tak sabar menemanimu menikmati senja. Kita bunuh sepi kita bersama."

"Bersabarlah! Aku baru menyiapkan bekal untuk perjalanan kita. Saat ini pejamkanlah matamu! Aku akan selalu hadir di setiap gelapmu."

"Pintuku akan selalu kubiarkan terbuka, hingga kamu tak perlu susah-susah mengetuk pintu saat kamu telah tiba di gerbang hatiku. Aku akan ada di balik pintu dengan senyum dan sapaan 'selamat datang'."

"Aku sedang berlayar menujumu. Dengan jaring kebahagiaan yang kubawa, akan kutangkap banyak cinta yang tersebar di luasnya lautan untukmu."

"Menunggu keadiranmu pasti takkan pernah nyaman bagiku. Bersegeralah! Tak usah banyak-banyak cinta yang kamu bawa, cukuplah segenggam dan aku akan membingkainya dengan kasih."

"Setelah aku sampai di hatimu, aku akan segera mengajakmu berlayar mengarungi samudra kehidupan menuju senja, bayangan surga yang kita damba."

"Maafkan aku, aku takut berada di tengah samudra. Aku takut ombak menggulung cinta, menghempaskan dirimu dan diriku dan menenggelamkan senyum kita. Aku takut berlayar, meski kau ada di sampingku."

"Kalau begitu,kamu tak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan kedua sayapku. Kan ku dekap dirimu dan kubawa kamu terbang bersamaku. Awan-awan pasti bersedia menjadi pengiring dan payung teduh kita. Tak ada yang bisa menghalangi, karena burung-burung akan mengawal perjalanan kita. Akan kupinta seekor kupu-kupu cantik hinggap di rambutmu sebagai hiasan penguat kecantikanmu."

"Ah, aku merasa tersanjung karenamu. Tapi, kenapa kita tak berjalan saja? Selangkah demi selangkah. Memberikan arti di tiap detik waktu kebersamaan kita."

"Apa kamu tak akan merasa lelah? Karena aku tak mungkin mampu menggendongmu di sepanjang perjalanan yang kita lewati. Lagipula aku bukan penunjuk jalan yang baik, aku takut kita teresat."

"Aku tak selalu butuh punggungmu untuk menggendongku. Aku hanya butuh tanganmu. Berjalan disampingmu bergandengan tangan lebih menenangkanku. Bukankah tujuan kita kebahagiaan? Kalau bersamamu adalah bahagiaku, rasanya tak ada istilah tersesat."

"Berarti, tugasku adalah membersihkan jalan kita dari duri duka dan kerikil benci. Apa itu cukup?"

"Aku rasa cukup. Hanya saja, mungkin aku tak selalu berjalan di belakangmu atau di sampingmu, sesekali aku ingin melompat-lompat di depanmu atau menari indah di hadapanmu."

"Tentu saja. Aku butuh teriakmu jika aku terlalu cepat melangkah meninggalkanmu dan aku perlu kata-kata semangatmu bila aku sudah terlalu capek untuk berjalan."

"Kita akan istirahat bersama, karena jeda kita adalah rindu. Aku harap kamu tak marah jika aku membentakmu bagai petir, menggerutuimu seperti gemuruh karena kau terlalu sibuk dengan duniamu sehingga melupakan adaku."

"Imajinasi lamunanku hanyalah kamu. Petir bentakmu dan gemuruh gerutumu adalah nyanyian terpuitis hatimu di telingaku."

"Aku ingin hujan segera reda. Aku sudah tak sabar melihat lengkung pelangi yang akan menyempurnakan kebahagiaan kita."

"Aku tak akan membiarkanmu berada di tengah hujan. Aku tak ingin kamu membohongiku. Aku tak ingin kamu menyamarkan air matamu. Bila kamu ingin menangis, kamu hanya boleh menangis di pelukanku."

"Air mataku pasti tangis bahagia. Tapi jika ternyata dengan menangis aku bisa mendapatkan pelukmu, aku pasti rela air tumpah dari mataku."

"Ada bahu untukmu bersandar, ada pelukan nyaman yang menghangatkan, ada nafas cinta yang mendamaikanmu. Tak perlu kamu bayar dengan apapun, simpanlah air matamu untuk sesuatu yang tepat saja!"

"Aku bisa saja berpikir kalau bukan aku saja yang kamu sirami kata-kata surga. Bukan aku saja yang melayang karena mutiara kata bersayapmu, namun entah kenapa aku menolak memikirkannya."

"Kamu memang bukan satu-satunya. Tapi pintu hatimu adalah satu-satunya jalan yang kulihat ada mimpi, harapan dan masa depanku di dalamnya."

"Mungkin saja setiap kata darimu adalah pisau tajam yang akan menghujam jantung hatiku, mengoyak mimpi dan harapanku, membunuh rasaku dan menguburkan kebahagiaanku. Seandainya bisa, aku ingin berpaling darimu. Akan tetapi, lagi-lagi kata-katamu bagaikan magnet yang menarik kuat hati dan senyumku untuk kupersembahkan padamu."

"Bisa saja aku mengindahkanmu menjadi apa saja yang menyenangkanku dan menenangkanmu. Tapi aku menghindarinya, mengandaikanmu sama saja aku memberikan topeng untukmu. Sementara aku menyukaimu apa adanya kamu. Tanpa perjanjian, tanpa alasan, tanpa syarat."

"Hati wanita mana yang tak luluh dengan kata-katamu. Aku ingin segera tertidur dan memimpikanmu, bukan aku bosan atau tak mau lagi mendengar syair surgamu. Hanya saja, aku tak ingin cepat hilang, meleleh karena bisikan kata-katamu. Aku masih ingin mendengar celoteh dan kicauanmu lebih banyak lagi. Aku masih ingin mendapatkan debaran sensasi seperti malam ini."

"Aku pun tak ingin kau menjadi mual karenaku, menjadi penat karena khayalan kita."

"Malam ini pasti aku terlelap dalam tidurku. Terhangatkan oleh selimut kata-katamu."

"Malam ini pun aku ingin menghamburkan kata-katamu di kepalaku. Membiarkannya bermain-main, melompat riang dan aku akan merapikannya kembali dalam mimpiku."

"Akan ada malaikat yang akan menghubungkan mimpi kita, yang ikut tersenyum bersama kita."

"Rasanya ada yang terlupa di percakapan panjang kita. Kita belum saling menyebut nama. Memang 'apalah arti sebuah nama?' Namun bukankah tak ada salahnya? Aku, BINTANG. :)"

"Apakah ini kebetulan? Aku, BULAN. Kita sama-sama penghias malam. (:"

"Ya, kita adalah pewarna dunia kita. Selamat tidur, Bulan. :)"

"Selamat malam, Bintang. (:"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar